Iklan dempo dalam berita

Sejarah Tradisi Amplop Undangan Pernikahan, Dulunya Simbol Gotong Royong Sekarang Transaksi Untung Rugi

Sejarah Tradisi Amplop Undangan Pernikahan, Dulunya Simbol Gotong Royong Sekarang Transaksi Untung Rugi

Awal mula tradisi amplop pernikahan di Indonesia--

Tradisi ngamplop ini tak selesai bersama berakhirnya resepsi. Dalam tradisi Jawa, ada istilah ‘mbalekne sumbangan’ atau mengembalikan sumbangan. Barangkali itulah fungsinya penamaan dalam amplop. Misalnya saat kamu punya hajat, temanmu ngamplop dengan nominal Rp 100 ribu, maka kelak bila dia punya hajat kamu harus nyumbang minimal Rp 100 ribu. 

Lagi-lagi, sebenarnya ini bukan keharusan. Tak ada pasal hukum yang menjeratmu bila kamu tidak mengembalikan sumbangan ke temanmu. Tapi lagi-lagi, rasa pekiwuh itulah yang membuatmu merasa wajib untuk mengembalikan sumbangan, bila tak mau jadi omongan di belakang.

Populernya tradisi ini membuat undangan yang datang saat kantong kering jadi mengerikan. Beberapa memilih untuk memasukan amplop kosong agar tak ketahuan

Tradisi ngamplop yang mendarah daging ini menjadi dilema tersendiri. Di musim-musim ‘kawinan’ dalam sebulan bisa saja ada 3-4 teman yang menikah. 

BACA JUGA:Dahsyatnya Baca 100 kali Istighfar Setiap Hari, Dosa Diampuni, Rezeki Mengalir Deras

Bila kantong sedang kering kerontang menunggu gajian yang tak kunjung datang, sebuah undangan bisa sangat mengerikan. Mau tidak datang, rasanya sungkan karena baiknya pertemanan. Tapi datang tanpa ‘bawa sesuatu’ juga akan sangat memalukan. Mungkin karena inilah banyak fenomena amplop kosong tanpa nama.

Makin ke sini, nilai sosial ‘ngamplop’ sebagai simbol gotong royong makin terkikis. Tergantikan transaksi balas budi yang dihitung dengan untung atau rugi

Ngamplop dengan tujuan saling membantu, berbagi rezeki, atau gotong royong tentu tidak ada salahnya. Namun bagi sebagian orang, pernikahan bisa dijadikan semacam transaksi bisnis. 

Memang sebuah pernikahan tidak murah. Terkadang untuk menggelar pesta yang wah dan mengundang decak kagum undangan, pemilik hajat harus berutang ke sana ke mari. 

Harapannya, kotak sumbangan yang ditaruh di sebelah penerima tamu nanti bisa menjadi ‘penutup’ biaya-biaya yang sudah dikeluarkan. Yang merasa sudah menyumbang, tapi yang disumbang tidak mengembalikan juga bisa mengundang kecewa dan amarah. Kalau sudah begini, filosofi saling membantu berubah jari memberi dengan pamrih.

Namun ternyata tradisi ini tidak hanya di Indonesia. Di Korea bahkan jumlah ‘sumbangan’ ditulis sendiri di buku tamu. Di Korea, tradisi yang sama juga masih berjalan hingga sekarang. 

BACA JUGA:Benarkah Orang yang Sudah Meninggal Dunia Tahu Saat Kita Ziarahi? Ini Penjelasannya

Saat menghadiri pernikahan teman atau kolega, kamu juga perlu membawa hadiah dan uang dengan jumlah yang bervariasi sesuai dengan kepantasan. 

Kalau di Indonesia cukup memasukkan amplop di tempat yang sudah disediakan, di Korea kamu juga harus menuliskan jumlah uang sumbanganmu di buku tamu. 

Bakal keliatan banget ya kalau sumbangannya sedikit. Uniknya lagi, uang yang diberikan harus dalam kondisi baru. Kalau uangmu sudah lecek-lecek karena terlalu sering pindah tangan, kamu harus tukarkan dulu di bank.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: