Iklan dempo dalam berita

Intip Makna Tradisi Nikah 'Kawin Tangkap' di Sumba, Sempat Viral dan Tuai Kontroversi

Intip Makna Tradisi Nikah 'Kawin Tangkap' di Sumba, Sempat Viral dan Tuai Kontroversi

Intip Makna Tradisi Nikah 'Kawin Tangkap' di Sumba, Sempat Viral dan Tuai Kontroversi--

Dalam tradisi aslinya, kawin tangkap sebenarnya sudah direncanakan dan disetujui terlebih dahulu oleh kedua belah pihak. Prosesnya pun melibatkan simbol-simbol adat, seperti kuda yang diikat atau emas di bawah bantal sebagai simbol bahwa prosesi adat tersebut tengah dilaksanakan. Perempuan yang akan ditangkap juga sudah mempersiapkan diri dengan berdandan dan mengenakan pakaian adat lengkap.

BACA JUGA:Pernikahan di Peti Mati, 10 Tradisi Pernikahan di Berbagai Negara Ini Agak Mengerikan

Dengan pakaian adat pula, calon mempelai pria akan menunggang kuda dan menangkap mempelai perempuannya di lokasi yang telah disepakati bersama. Setelah ditangkap, pihak orang tua laki-laki akan memberikan satu ekor kuda dan sebuah parang Sumba sebagai permintaan maaf dan mengabarkan bahwa anak perempuannya telah berada di rumah pihak laki-laki. Proses resmi peminangan baru resmi dimulai setelah calon mempelai perempuan setuju untuk menikah, yang kemudian disusul penyerahan belis (mahar perkawinan).

Sayangnya, beberapa tahun terakhir ini kita sering mendengar prosesi kawin tangkap ini disertai dengan paksaan, intimidasi, dan kekerasan terhadap perempuan. Dengan mengatasnamakan adat atau tradisi, pelaku merasa berhak menculik dan membawa paksa perempuan-perempuan Sumba di mana pun dan kapan pun  mereka mau, padahal itu telah melenceng dari adat sebenarnya. Melencengnya praktik kawin tangkap ini bisa kita lihat mulai dari hilangnya kesepakatan sebelum dilangsungkannya prosesi tersebut, bahkan dalam beberapa kasus pelaku membawa senjata layaknya penculikan sungguhan.

BACA JUGA:9 Tradisi Pernikahan Unik di Berbagai Negara, Ada yang Wajib Membawa Gigi Ikan Paus ke Ayah Mertua

Bergesernya praktik kawin tangkap merupakan salah satu dari sekian banyaknya akibat dari konstruksi gender yang tidak setara, inti utama dari budaya patriarki. Laki-laki selalu diposisikan paling atas dan dianggap berhak untuk melakukan apapun terhadap perempuan.

Lebih lanjut dalam budaya patriarki, maskulinitas laki-laki didefinisikan secara dangkal dan dikaitkan dengan ego, dominasi, bahkan kekerasan. 

BACA JUGA:Menculik Mempelai Wanita, Yuk Intip 6 Tradisi Pernikahan Unik di Indonesia

Dalam praktik kawin tangkap yang melenceng, pelaku merasa mempunyai kebebasan untuk memaksa perempuan menikah dengannya sesederhana karena ia laki-laki dan agresif merupakan sifat laki-laki yang bisa dimaklumi masyarakat. Selama bertahun-tahun, praktik adat tersebut telah bergeser menjadi pertunjukan kejantanan dan kekayaan bagi laki-laki Sumba.

Setidaknya ada dua aspek yang membuat tradisi kawin tangkap ini beralih menjadi penyerangan dan kekerasan berbasis gender. Pertama, aspek pemaksaan dan tidak adanya persetujuan dari korban. Kedua, penggunaan senjata dan intimidasi yang dapat membahayakan fisik, mental, dan seksual korban. Praktik ini tidak sejalan dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia, karena setiap manusia termasuk perempuan berhak atas rasa aman serta hak untuk bebas dari ancaman kekerasan.

 

(Tim)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: